Lara Episode Satu (Teruntuk Kekasihku, Yang Memilih Pergi dengan Pujangga Baru)
Senja, tepat satu minggu yang lalu, aku bertandang kerumahmu.
Aku disambut wajah lugu penuh haru.
Gurat harapan terpancar di bola mata ibumu.
Salam takdzim mengawali ritual jika bertemu.
Kubasuh tangannya yang kasar nan lembut itu.
Sorai bahagia terlihat ketika aku berkata "masih mencintai anakmu, ibu"
Beliau mendesah syukur.
Seketika hatiku menyunggingkan sedikit harapan bahwa ibumu bersedia untuk berjuang bersama kita; aku, kamu, dan ibumu.
Kekasih, aku pasrahkan engkau kepada Allah, pemilikmu.
Perlahan, ibu bercerita bahwa engkau sedang bersuka ria dengan pujangga baru yang lebih menawan, dan akan pergi meninggalkanku untuk yang kesekian.
Beliau berkata bahwa belum merestuimu.
Apakah engkau akan melawan? Entahlah.
Kekasih ku engkau tahu, mendengarnya hatiku remuk, mencerna setiap bait yang meluncur sungguh sangat menyayat bilik hati.
Air mata yang mengambang diujung mata, yang kutahan akhirnya jatuh mengerjap berulang.
Sambil menyekanya aku tetap tersenyum. Mencoba tegar meski beliau tahu bagaimana tercacahnya hatiku.
Aku mendekat, perih yang mengimpit hatiku tak dapat kubendung, kupeluk beliau, kucium tangan yang telah merawat kekasihku dan kristal air mata ku tumpah dipangkuan beliau.
Haru. Pilu. Tiada Engkau.
Selang beberapa menit, engkau kembali dengan wajah kuyu.
Buru-buru kuusap kristal yang mengambang disudut mata.
Ku tatap matamu, tubuhmu, terpancar semangat layu.
"Maafkan aku, aku tidak akan meninggalkanmu"
Magma kata yang engkau tahan mendorong untuk berseloroh "ijinkan aku selingkuh, ijinkan aku menikah"
Lagi dan lagi , air mata yang kupikir sudah habis ternyata masih tersisa. Mengucur deras tiada henti tanpa aku paksa.
Aku tergeragap tak percaya.
Sayatan katamu meluncur sadis mengoyak jiwa.
Lukaku kian menganga.
Hening. Tercipta diantara aku dan engkau.
Kekasihku sibuk dengan fikirannya pun aku yang sedang menguatkan diri.
Kami saling menguatkan.
Berharap kepada keajaiban Tuhan.
Menggenggam erat tanganmu sama saja menggenggam bara api.
Panas, dan perih menusuk raga.
Engkau lebih memilih pergi dengan pujangga baru tanpa menghiraukan sebongkah hati yang setia.
Kini, aku hanya bisa melantunkan zikir dan doa.
Mencoba melepas jubah kesombongan jiwa, menuju penyatuan cinta dan harapan.
Sang khaliq adalah satu-satunya pemberi harapan yang tak lekang oleh dimensi ruang dan waktu.
Karena Dialah Penguasa Semesta.
Dan bukankah hanya Tuhan Penguasa Semesta?
Dan hanya Tuhan yang Maha Pengatur Rasa?
Yaa.
Kekasih aku hanya dapat bermunajat kepada Sang Sutradara Kehidupan agar episode selanjutnya menjadi babak paling menggembirakan semua orang.
Laatachzan Innalloha Ma`na : Jangan Bersedih, Sesungguhnya Allah beserta kita.
Aku kembali pulang dengan wajah layu, dengan restu ibu yang belum ikhlas melepasku.
Aku hanya berharap kepada Sang Maha Satu.
Selamat malam kopi pahit.
Berharaplah kepada Tuhan, agar semesta merestui kita.
Aku disambut wajah lugu penuh haru.
Gurat harapan terpancar di bola mata ibumu.
Salam takdzim mengawali ritual jika bertemu.
Kubasuh tangannya yang kasar nan lembut itu.
Sorai bahagia terlihat ketika aku berkata "masih mencintai anakmu, ibu"
Beliau mendesah syukur.
Seketika hatiku menyunggingkan sedikit harapan bahwa ibumu bersedia untuk berjuang bersama kita; aku, kamu, dan ibumu.
Kekasih, aku pasrahkan engkau kepada Allah, pemilikmu.
Perlahan, ibu bercerita bahwa engkau sedang bersuka ria dengan pujangga baru yang lebih menawan, dan akan pergi meninggalkanku untuk yang kesekian.
Beliau berkata bahwa belum merestuimu.
Apakah engkau akan melawan? Entahlah.
Kekasih ku engkau tahu, mendengarnya hatiku remuk, mencerna setiap bait yang meluncur sungguh sangat menyayat bilik hati.
Air mata yang mengambang diujung mata, yang kutahan akhirnya jatuh mengerjap berulang.
Sambil menyekanya aku tetap tersenyum. Mencoba tegar meski beliau tahu bagaimana tercacahnya hatiku.
Aku mendekat, perih yang mengimpit hatiku tak dapat kubendung, kupeluk beliau, kucium tangan yang telah merawat kekasihku dan kristal air mata ku tumpah dipangkuan beliau.
Haru. Pilu. Tiada Engkau.
Selang beberapa menit, engkau kembali dengan wajah kuyu.
Buru-buru kuusap kristal yang mengambang disudut mata.
Ku tatap matamu, tubuhmu, terpancar semangat layu.
"Maafkan aku, aku tidak akan meninggalkanmu"
Magma kata yang engkau tahan mendorong untuk berseloroh "ijinkan aku selingkuh, ijinkan aku menikah"
Lagi dan lagi , air mata yang kupikir sudah habis ternyata masih tersisa. Mengucur deras tiada henti tanpa aku paksa.
Aku tergeragap tak percaya.
Sayatan katamu meluncur sadis mengoyak jiwa.
Lukaku kian menganga.
Hening. Tercipta diantara aku dan engkau.
Kekasihku sibuk dengan fikirannya pun aku yang sedang menguatkan diri.
Kami saling menguatkan.
Berharap kepada keajaiban Tuhan.
Menggenggam erat tanganmu sama saja menggenggam bara api.
Panas, dan perih menusuk raga.
Engkau lebih memilih pergi dengan pujangga baru tanpa menghiraukan sebongkah hati yang setia.
Kini, aku hanya bisa melantunkan zikir dan doa.
Mencoba melepas jubah kesombongan jiwa, menuju penyatuan cinta dan harapan.
Sang khaliq adalah satu-satunya pemberi harapan yang tak lekang oleh dimensi ruang dan waktu.
Karena Dialah Penguasa Semesta.
Dan bukankah hanya Tuhan Penguasa Semesta?
Dan hanya Tuhan yang Maha Pengatur Rasa?
Yaa.
Kekasih aku hanya dapat bermunajat kepada Sang Sutradara Kehidupan agar episode selanjutnya menjadi babak paling menggembirakan semua orang.
Laatachzan Innalloha Ma`na : Jangan Bersedih, Sesungguhnya Allah beserta kita.
Aku kembali pulang dengan wajah layu, dengan restu ibu yang belum ikhlas melepasku.
Aku hanya berharap kepada Sang Maha Satu.
Selamat malam kopi pahit.
Berharaplah kepada Tuhan, agar semesta merestui kita.
Comments
Post a Comment